COVID 19 (Part 2 of Perjuangan Hidup Bapak)

21 Juni pukul 20.00 WIB , setelah melewati proses yang panjang dan serangkaian pemeriksaan di IGD, bapak masuk ruang isolasi. Aku pun pulang ke rumah untuk bebersih. Pukul 21.00 aku kembali ke rumah sakit untuk memberikan keperluan bapak yang masih kurang, seperti HP contohnya. Sebenarnya aku ragu bapak akan membuka HP selama berada di rung isolasi dengan kondisinya, namun tetap aku berikan. 

keesokan harinya aku beristirahat di rumah. Selama bapak diisolasi, aku mengunjungi dua hari sekali. yaitu hari rabu dan jumat. hari selasa aku beristirahat di rumah, hari rabu aku ke rumah sakit, bapak masih stabil. Aku membawakan minuman untuk memperlancar pencernaan bapak, juga berkonsultasi dengan perawat dan dokter siapa tau bapak perlu diberi suntikan obat pencahar. Di kondisi bapak yang sudah cukup parah saat dibawa ke rumah sakit, aku tau segala opsi harus dipikirkan resikonya, termasuk memberikan obat pencahar. Setelah berdiskusi panjang, aku serahkan keputusan pada tim medis sebagai ahlinya. Hari kamis aku mengerjakan pekerjaan perusahaan dari rumah, laporan keuangan setengah tahun yang menjadi targetku rampung diselesaikan, tinggal menunggu akhir bulan Juni untuk finalisasi dan aku sudah tak sabar melaporkannya pada bapak saat ia sembuh. Namun pada jumat 25 Juni, setelah hasil tes swab ku keluar negatif, aku ke rumah sakit dan mendapati penurunan pada kondisi bapak. Malam itu, aku dan adikku Fauzan berjuang mencari donor plasma darah untuk bapak hingga lewat tengah malam. 

keesokan pagi hari nya pukul set 7 aku sudah berangkat untuk screening antibody calon pendonor di lab. namun karena proses maintenance mesin maka proses pemeriksaan hasil lab baru benar-benar berjalan setelah pukul 8. pukul 8 lewat, aku mendapat telefon dari rumah sakit kalau bapak mengalami perburukan dan keluarga diharapkan segera datang. Aku masih menunggu hasil lab dan tidak mungkin di tinggal. setelah menerima telefon dari rumah sakit aku menangis sejadinya. setelah tenang aku mulai menelepon adikku untuk segera ke rumah sakit bersama kakak bapak, aku juga menelepon beberapa keluarga terdekat bapak yang bisa diajak kordinasi. aku masih menunggu di lab, adik bapak satu masih menunggu di pmi, satu lagi stand by di rumah, dan pukul 9 setelah adikku dan kakak bapak sampai di rumah sakit dan mendengar penjelasan perawat, aku mendapat kabar kalau bapak sudah tiada. Hancur berkeping-keping hati ini, pupus sudah harapan dan upaya yang selama ini aku usahakan untuk kesembuhan bapak, tapi hari ini masih panjang dan aku harus tetap bergerak agar bapak bisa cepat di makamkan, karena tidak baik menunda-nunda pemakaman. 

Hari itu 26 Juni 202, aku tau yang kehilangan bapak bukan hanya aku dan keuarga, namun juga banyak orang. terutama saudara kandung bapak, dan kakekku. Rasa empatiku muncul mengingat pasti sulit rasanya melihat anak yang selama ini dididik dan dibesarkan dari kecil harus dikuburkan, namun hidup ini sejatinya bukan milik kita, bapak bukan milik siapa-siapa melainkan milik Allah swt.

Aku kira setelah meninggal nya bapak, perjuangan melawan covid telah usai, dan aku bisa kembali menata hidup dan perlahan melangkah, namun ternyata tidak. tanggal 6 Juli tanteku, Inayati terkonfirmasi covid dan hasil rontgen paru-paru menunjukan pneomia dan covid sudah merusak paru-paru kirinya. Sekalipun paru-paru kanan masih bersih, tapi tanpa bantuan oksigen dan obat-obatan, sulit untuk menyembuhkan infeksi paru-paru, sedangkan kondisi rumah sakit sudah mulai kekurangan oksigen, pasien sudah mulai berjejeran di lorong IGD. Aku dan keluarga memilih perawatan home care. Aku mulai belajar bagaimana cara menangani penyumbatan pada selang infus, bagaimana mengganti infus, memasukan obat ke selang infus, dan lain sebagainya. Pada hari Rabu 7 Juli, terjadi penyumbatan di tangan kanan bi Ina yang dinfus sehingga aku harus melepaskan infusan bi Ina di rumah tanpa bantuan perawat. keesokan harinya kamis 8 Juli, sahabatku yang seorang perawat IGD datang untuk kembali menginfus bi Ina. hari itu pasien yang  diinfus sahabatku ada dua, bi Ina dan satu lagi adik ipar bapak. (catatan : infusan dan obat injeksi atas resep dari dokter. ) Malam hari pukul 19.30 setelah aku selesai sholat magrib dan makan malam aku memperhatikan kuku kaki bi Ina yang mulai membiru, aku pegangg kakinya masih merespon, kemudian aku berkata "setelah kaka selesai makan, nanti kaka pijitin kakinya" janjiku pada tanteku. setelah aku selesai makan, tanteku mulai batu-batuk, kemudian aku mempersiapkan alat nebu untuk mengurangi batuknya. Belum selesai aku memasukan obat ke alat nebu, bi Ina sesak dan dari kasat mata awam, gejala yang bisa aku simpulkan adalah serangan stroke, saat aku minta bi Ina untuk menjulurkan lidah untuk mengecek apakah betul serangan stroke, bi Ina terkena kejang dan itu yang membuat aku dan adik bungsuku, fatiya panik. kita sama sekali buta akan hal ini, karena malam itu tidak ada petugas medis di rumah. begitu adikku datang membawa oksigen, kita langsung pasangkan oksigen. Namun berapa kali upaya penyelamatan pertama yang kita tau sebagai orang awam kita coba lakukan begitu dipasang oximeter hasilnya nihil. 

Setelah kejadian itu, aku hampir tidak sadar, aku mencoba bertahan sampai pemakaman. Namun keesokan harinya aku tau aku tidak punya kekuatan untuk bangun. Menyakitkan rasanya melihat orang yang kita sayangi meninggal di depan mata kita, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa. menyakitkan rasanya kehilangan orang terdekat berturut-turut hanya berselang 12 hari. Menyakitkan rasanya ketika kita tau kondisi medis seseorang dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan orang itu, karena keterbatasan yang saat ini dialami di Indonesia, terbatas tenaga medis, terbatas ruang isolasi, terbatas ICU, teratas plasma darah, bahkan terbatas oksigen. Senin tanggal 12 Juli adik ipar bapak meninggal dunia di rumah kediamannya. Bahkan hari ini pun kakak kandung bapak sedang menunggu hasil screening donor plasma, sedangkan adik bapak sedang di rawat di ruang isolasi, ditemani isterinya. 

Kalau kalian membaca blog ini, kalian harus tau bahwa apa yang ditunjukan di televisi soal kondisi IGD dan rumah sakit, itu hampir semuanya benar. Bahkan kalau kalian lihat langsung di lapangan, di rumah sakit dan IGD, dengan sangat berat hati saya harus mengungkapkan fakta bahwa kalau ada IGD atau rumah sakit yang tersedia bed kosong, kecil kemungkinan karena pasien sebelumnya telah sembuh. Ini perang yang masih harus masyarakat Indonesia tanggung dan lalui karena kelalaian pemerintah dalam menerapkan lockdown dan juga sikap acuh masyarakat terhadap wabah covid 19. Bersikap santai boleh, tapi acuh jangan. Keluarga saya tau bahwa covid tidak membatasi kami untuk saling membantu, namun kita tidak acuh pada protokol kesehatan. Bersikap sewajarnya, taati protokol, dan cobalah menjadi lebih manusiawi, menjadi lebih empati pada sesama, dan teruslah berdoa untuk semua yang telah pergi, untuk yang masih berjuang, dan untuk masa depan yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Eight Years In One Day

Bidik Jurusan Gratis ? Youth Manual Aja

Indigo