perjodohan part 1
Waktu pertama kali aku bertemu dengannya, aku tidak pernah menyangka akan terjebak dalam hubungan rumit nan menyakitkan.
"Amy, ini calon suami kamu Arga. Seminggu lagi kalian akan melangsungkan pertunangan. Semuanya sudah diatur oleh kami dan orangtua Arga."
Kaget, itu yang pertama kali aku rasakan saat papah mengenalkanku dengan laki-laki yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Well, mungkin aku pernah bertemu dengannya karena keluarga kami dekat. Tapi aku sudah sangat lama tidak bertemu dengannya.
"Mamah tau kamu pasti ingin lebih kenal dengan calon suami kamu. Begitupun Arga. Makanya selama beberapa hari kedepan Arga akan sering datang kesini."
Seakan mengerti kekhawatiran ku, mamah yang biasanya bersikap protektif dan sangat membatasi hubungan ku dengan laki-laki tiba-tiba sangat welcome terhadap Arga. Mereka bahkan memberikan waktu untukku dan Arga mengobrol berdua.
"Amy, saya tau ini semua mendadak. Tapi niat saya baik, saya ingin kenal kamu dulu." Ucap Arga, dan aku betul betul tidak tau mau bicara apa. Dan pertahanan diriku akhirnya mengambil alih topik pembicaraan.
"Kenapa aa setuju sama perjodohan ini, aa gak kenal aku, aa gak tau aku.?" Pertanyaan pertahanan yang keluar karena aku tidak yakin laki-laki di depanku benar benar tertarik atau bahkan memiliki perasaan terhadapku. Sedangkan aku jelas tidak punya pilihan lain.
"Makasih udah bersikap sopan dan manggil saya aa, padahal kamu tau betul kita seusia.
Betul saya gak tau kamu dan saya gak kenal kamu. Tapi saya gak ada pilihan lain. Perempuan yang saya suka, Tiana dia tidak satu agama dengan saya dan tidak tinggal di Indonesia"
Satu kata, jleb. Itu yang pertama kali aku rasakan begitu aku tau dia sebenarnya punya perempuan lain. Namun aku mencoba tenang.
"Ooh.. saya juga kebetulan pernah memiliki hubungan dengan laki-laki di luar Indonesia. Cuma sekalipun mereka muslim, nampaknya cukup sulit untuk kita sampai ke titik berkomitmen dan dia rela datang ke Indonesia untuk bertemu keluarga saya"
"Well, mungkin kamu udah tau kalau saya sempat kuliah di luar negeri, cukup lama. Dan itu yang bikin saya gak pernah sempat mengenal kamu sebelum ini."
"Saya juga cukup sibuk dengan urusan saya disini ko."
"Ya, saya tau kamu punya beberapa sahabat laki-laki. Mungkin salah satunya lebih special dari yang lain"
Aku mulai ga tahan dengan arah obrolan ini yang terkesan mencoba mengorek-ngorek kehidupan pribadi ku
"Oh ya, jadi sekarang kamu mencoba menebak perasaan saya dari pelacakan kamu soal kehidupan sosial saya?"
"Saya memang melacak kehidupan kamu. Saya ingin tau calon isteri saya seperti apa. Dan saya tau yang kamu tunjukkan di dunia maya itu bukan sepenuhnya benar diri kamu. Dan saya juga aware sama perasaan yang masih kamu simpan untuk orang lain"
"Mau kamu apa sih?" Tanyaku akhirnya
"Pernikahan kita akan berlangsung kurang lebih sebulan setelah tunangan. Orangtua kita nampaknya sevisi dan semisi untuk menikahkan anaknya secepatnya dan tidak mau pesta yang heboh. Jadi saya hanya ingin kita bisa sama-sama sepakat soal pernikahan ini. Baiklah, besok saya akan datang lagi. Assalamualaikum"
Kemudian setelah berkata seperti itu dia pun berpamitan pulang. Besoknya seperti janjinya dia datang lagi. Begitupun besoknya dan besoknya. Hari demi hari berlalu dengan dia yang selalu datang ke rumah setiap hari. Sampai rasanya dia sudah seperti penghuni Dari rumah kami. Dan bencinya adalah aku mulai terbiasa dengan kehadiran dia.
"Hari ini weekend, aku mau ajak kamu jalan" ucap Arga.
"Oke aku siap-siap dulu"
Entah kenapa, ternyata tidak sulit untuk menikmati jalan-jalan dengannya. Sedikit cringe dalam beberapa saat terutama ketika hujan tiba-tiba mengguyur dan dia berusaha sebisa mungkin melindungi aku dari hujan
"Jeez kamu basah kuyup banget. Wait"
Aku membuka blazer ku dan memberikan nya pada Arga
"Kamu gak apa-apa gitu? Maaf ya aku lupa bawa jaket dan ga antisipasi hujan begini."
"Gak apa-apa. Baju aku panjang ko. Dan ga terlalu basah. Berkat kamu. " Ucapku.
Dia terdiam. Dan sepertinya aku sudah salah bicara.
"Coba tadi kamu kasih aku kesempatan buat jadiin blazer aku payung, mungkin kamu ga akan sekuyup ini a" tambahku.
Dia tertawa kecil. "Iya, tapi makasih blazernya."
"A, simpen baju cadangan ga di mobil?" Tanyaku
"Hmm kayanya ada."
"Yaudah kalau udah agak reda ke parkiran dulu aja. Ganti baju. Dari pada kamu masuk angin"
"Oke. Tapi kamu harus konsisten mau manggil A atau kamu" ucapnya
"Apaan sih"
"A atau kamu?" Tanya dia lagi
"Sukanya dipanggil apa?" Aku balik bertanya pada Arga
"Arga is my name. So i prefer 'A' "
"Oke then. Aku ngikut aja" ucapku.
Hujan akhirnya reda dan setelah dia ganti baju di mobil, kita selesai sholat, aku dan arga melanjutkan jalan-jalan sambil mengobrol. Dan aku mengajak Arga untuk duduk karena aku perlu ngomong serius sama dia.
"Kenapa milih aku, kenapa setuju sama perjodohan ini, intinya kenapa aku, A?" Tanyaku.
"Aku cuma ingin orangtua kita bahagia" jawbanya. Klise.
"Terus gimana sama kamu, sama aku. Ini kita loh yang nanti nikah bukan orangtua kita. Dan acara tunangan nya besok. Aku bahkan ga tau mau ngomong apa besok"
"Cukup jawab iya aja. Kamu bisa kan jawab iya"
"Arga jawaban aku ada konsekuensinya. Kamu yakin mau hidup sama aku?"
"Kamu begini antara kamu insecure sama diri kamu atau kamu sebenarnya mengharapkan orang lain ada di posisi ini. Aku lebih senang kalau mendengar yang pertama adalah kebenaran nya"
"Maksud kamu apa?"
"Aku tau soal Alex. Kamu suka dia. Oh bukan ralat, kamu sayang dia, kamu peduli sama dia, mungkin lebih dr sahabat."
Aku terdiam untuk waktu yang agak lama. Suasana canggung ini betul-betul tidak enak. Kalau aku bisa teriak mungkin aku udah teriak. Di depan dia aku gak bisa. Arga menggandeng tanganku dan membawaku ke mobil. Begitu sampai mobil, ternyata tangisku tidak bisa dibendung lagi.
"Hey, aku minta maaf oke. Aku tau ini membingungkan buat kamu. Karena buat aku juga."
"Plis, tinggalin aku sebentar aja" ucapku.
Dia pun keluar. Dan aku memakai waktu untuk bernafas dan berpikir. Jika ini memang hidup yang harus aku jalani, terus aku bisa apa. Aku tau dia juga punya perasaan buat perempuan lain. Dan dia juga tau aku punya perasaan buat laki laki lain. Dan Disini kita berdua sama-sama tidak punya pilihan. Dan kalau dia tetap ingin melakukan ini, maka kita harus sepakat.
Tak lama kemudian dia kembali, sambil bawa minuman.
"Nih minum dulu" ucapnya
"Makasih A" aku meneguk minuman ku
"Aku udah agak tenang. Dan aku kepikiran soal ucapan kamu di hari pertama. Kamu bilang kita harus sepakat kan"
Arga mengangguk.
"Arga, kalau misalnya tujuan kita memang ingin membahagiakan orangtua kita, kita juga harus belajar bahagia. Tapi aku juga tau dengan kondisi kamu dan aku saat ini, we can't just jump into the real marriage life. If you know what i mean"
"Iya arga paham. Tapi saya juga ga akan menelantarkan kamu. Saya punya rumah dan apartemen. Kamu bisa tinggal sama saya atau tinggal di apartemen saya. Terserah kamu"
"Aku gak mau orang salah paham. Dan kalau kita mau belajar kita harus melakukan nya barengan. Aku juga ga mau citra kamu rusak. Mungkin kita bisa tinggal satu rumah tapi pisah kamar untuk sementara. Sampai kita tau kalau kita sama sama menerima satu sama lain. Dan aku pastinya akan berusaha buat nurut sama kamu. Cuma mungkin aku juga akan tetap kerja di kantor papah seperti biasa."
"Sounds a good idea" ucapnya
Aku menempelkan kepalaku pada dashboard mobil sambil memandangi Arga
"Kenapa?"
"Aku kira mudah buat aku jatuh cinta sama jodoh aku kalau dia ganteng, mapan, dan bisa membimbing aku."
"Kamu ini muji apa gimana sih?"
"Nggak aku cuma ngira-ngira aja. Aku atau kamu yang bakal jatuh cinta duluan"
"Kita harus jatuh cinta barengan. Karena aku gak ingin salah satu dari kita tersakiti"
"Kamu tau kan kalau akan selalu ada kemungkinan kita saling menyakiti."
Arga memegang tanganku dan mencium nya.
"Iya aku tau"
Dan aku tau saat dia melakukan itu hatiku luluh.
To be continued...
Komentar
Posting Komentar
Hello, Thank you for leaving comment in my Blog. Keep reading and hope you enjoy it :)